Kamis, 25 Februari 2016

Hukum Jama’ Sholat Karena Sibuk

Hukum Jama’ Sholat Karena Sibuk


KE-NU-AN by.ariffaizin236
Shalat adalah kewajiban bagi setiap orang muslim, kapanpun dan dimanapun. Artinya kewajiban shalat tidak tergoyahkan oleh ruang dan waktu. Namun, dalam realita kehidupan manusia, seringkali keadaan berbicara lain.
Bisa saja kondisi tidak mengizinkan seseorang menjalankan shalat secara sempurna, misalkan karena orang tersebut di dalam perjalanan, atau di atas perahu atau di ruang angkasa berjam-jam.
Oleh karena itulah dalam fiqih mengajarkan jama’ shalat. Yaitu melaksanakan dua macam shalat yang berbeda dalam satu waktu, karena adanya satu alasan tertentu. Meski demikian para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai alasan diperbolehkannya jama’ shalat.
Sebagain ulama fiqih hanya membolehkan jama’ shalat ketika seseorang dalam keadaan bepergian jauh (musafir).
Namun sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Sirrin, al-Qaffal dan Abu Ishaq al-Marwazy membolehkan menjama’ shalat walaupun ada di rumah (hadir) dikarenakan keadaan yang amat sangat sibuknya dan jama’ ini tidak menjadi kebiasaan. Misalnya jama’ shalat bagi pengantin baru yang sedang menjalani walimatul arusy dan selalu menerima tamu. Begitu diterangkan dalam Syarah Muslim lin Nawawi
بﺎﺤﺻأ ﺚﻳﺪﺤﻟا هرﺎﺘﺧا و ﻦﺑا رﺬﻨﻤﻟا ﻦﻋ ﻰﺑأ قﺎﺤﺳإ ىزوﺮﻤﻟا ﻦﻋ ﺔﻋﺎﻤﺟ ﻦﻣ ﻰﺷﺎﺸﻟاو ﺮﯿﺒﻜﻟا ﻦﻣ بﺎﺤﺻأ ﻰﻌﻓﺎﺸﻟا ﻚﻟﺎﻣ هﺎﻜﺣو ﻲﺑﺎﻄﺨﻟا ﻦﻋ لﺎﻔﻘﻟا ﻮھو لﻮﻗ ﻦﺑا ﻦﻳﺮﯿﺳ ﺐﮫﺷأو ﻦﻣ بﺎﺤﺻأ ﻰﻓ ﺮﺿﺎﺤﻟا ﺔﺟﺎﺤﻠﻟ ﻦﻤﻟ ﻻ هﺬﺨﺘﻳ ةدﺎﻋ ﺐھذو ﺔﻋﺎﻤﺟ ﻦﻣ ﺔﻤﺋﻷا ﻰﻟا ز اﻮﺟ ﻊﻤﺠﻟا
Sejumlah imam berpendapat tentang diperbolehkannya menjama’ shalat di rumah karena ada keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini pendapat Ibnu Sirrin , Asyhab pengikut Imam Malik, al-Qaffal. As-Syasyi al-Kabir dari kalangan as-Syafi’I dan Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan ahlul hadits. Sebagaimana dipilij oleh Ibnu Mundzir.
Sumber: NU Online

Hukum jual beli online (LBM)

Assalamualaikum ustadz.
Saya ingin bertanya tentang hukum boleh atau tidaknya melakukan jual beli via internet, karena saya sering melakukan itu. Saya sering membeli barang di internet, lalu saya melakukan konfirmasi pembelian, kemudian saya mengirimkan uang melalui transfer bank, lalu saya mengkonfirmasi pembayaran saya dan pihak penjual mengrimkan konfirmasinya melalui e-mail.<> Menurut ustadz cara jual beli online seperti itu dibolehkan/tidak? lalu apa landasan hukumnya ustadz? apa ada hadits yang mengqiyaskan tentang jual beli onlien ustadz? Mohon dijawab ya ustadz pertanyaan saya, agar saya dapat memestikan tindakan saya ini. Terimakasih. Wassalamualaikum. (Ica Hanisah)
Wa’alaikumsalam warahmatullah.

Saudari Ica yang  terhormat.

Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang  hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara  penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan  fasilitas dan  semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet sebagaimana pertanyaan yang saudari sampaikan.

Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya  dengan dasar pengambilan hukum;

1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:

وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:

(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ
(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.

Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).

Saudari Ica yang kami hormati.

Jawaban ini kiranya dapat dijadikan acuan dalam tindakan yang anda lakukan. Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli. Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin. 

HUKUM LGBT hasil LBM

Assalamu’alaikum wr. wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat. Langsung saja, belakangan ini ramai dibicarakan masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Yang saya tanyakan, apa hukum hubungan seksual LGBT dalam Islam dan apa konsekuensinya? Apakah status perkawinan mereka? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (Abdullah/Jakarta).

Jawaban
Penanya yang budiman di mana saja berada, semoga Allah SWT merahmati kita semua. Benar bahwa belakangan ini ramai diperbincangkan masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Pelbagai kalangan dan tingkatan usia membicarakan masalah ini.

Setidaknya ada empat masalah berbeda perihal LGBT. Semuanya memerlukan pembahasan tersendiri. Pada kesempatan ini kita mengangkat masalah lesbian dari sisi hukum Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan perilaku mukallaf. Artinya kita akan memandang masalah lesbian dari perilaku seksualnya.

Lesbian sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. Dengan kata lain, lesbian adalah wanita homoseks. Syekh Nawawi Banten menyebut status hukum hubungan seksual wanita homoseks dalam karyanya Nihayatuz Zain sebagai berikut.

وتساحق النساء حرام ويعزرون بذلك لأنه فعل محرم. قال القاضي أبو الطيب وإثم ذلك كإثم الزنا، لقوله صلى الله عليه وسلم "إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيان"

Artinya, “Hubungan seksual sesama perempuan (sihaq) adalah haram. Pelakunya dikenakan sanksi level takzir karena sihaq merupakan tindakan yang diharamkan. Qadhi Abut Thayyib mengatakan, ‘Dosa sihaq serupa dengan dosa zina berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘Bila perempuan melakukan seksual dengan sejenisnya, keduanya telah berzina’,’” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, Al-Ma‘arif, Bandung, tanpa tahun, Halaman 349).

Lalu sanksi apa yang dikenakan bagi pelaku hubungan homoseksual wanita ini? Imam An-Nawawi di dalam Raudhatut Thalibbin menyebutkan bahwa sanksi lesbian tidak sampai batas hudud, level sanksi terberat dalam hukum Islam seperti rajam. Mereka hanya dikenakan takzir, satu tingkat sanksi di bawah hudud.

المفاخذات ومقدمات الوطء وإتيان المرأة المرأة لا حد فيها

Artinya, “Aktivitas pemenuhan seksual dengan mempertemukan paha, pendahuluan-pendahuluan dalam bersetubuh (foreplay), dan tindakan lesbian, tidak dikenakan sanksi hudud,” (Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyyin, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz VIII, Halaman 415).

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtajyang kemudian diuraikan lebih jauh oleh Ibnu Qasim Al-Abbadi mempertegas sanksi takzir bagi pelaku homoseksual wanita/lesbian.

ولا حد بمفاخذة وغيرها مما ليس فيه تغييب حشفة كالسحاق( عبارة المغني ولا بإتيان المرأة المرأة بل تعزران ولا باستمنائه باليد بل يعزر اما بيد من يحل الاستمتاع بها فمكروه لأنه في معنى العزل) لعدم الإيلاج السابق(

Artinya, “(Tiada sanksi hudud bagi tindakan seksual dengan paha dan aktivitas seksual lain yang tidak sampai memasukan kelamin laki-laki seperti sihaq) redaksi dalam Mughni, ‘Tiada sanksi hudud bagi pelaku lesbian. Keduanya cukup di-takzir. Begitu juga mereka yang melakukan masturbasi dengan tangannya. Mereka di-takzir. Sedangkan masturbasi pria dengan menggunakan tangan istri atau budak perempuannya, hukumnya makruh karena masuk kategori ‘azal [keluar mani di luar vagina]’ (karena tidak ada masuknya penis seperti keterangan lalu),” (Lihat Abdul Hamid As-Syarwani dan Ahmad Ibnu Qasim Al-Abbadi, Hawasyi Tuhfatil Muhtaj, Musthofa Muhammad, Mesir, Juz IX, Halaman 104).

Dari sejumlah keterangan di atas kita memahaminya bahwa hubungan seksual lesbian adalah haram dan dosa besar yang memiliki konsekuensi hukum di dunia. Pelakunya dikenakan sanksi takzir yang diijtihadkan oleh pemerintah dalam konteks Indonesia melalui perundang-undangan yang berlaku.

Perihal perkawinan sejenis seperti pernikahan sesama lesbian, jelas tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat pernikahan. Hukum positif tidak boleh melegalkan pernikahan mereka. Pemerintah baik eksekutif maupun legislatif akan berlaku zalim bila melakukan legalisasi perbuatan keji. Imam An-Nawawi secara eksplisit menyebut perilaku homoseksual wanita sebagai perbuatan keji.

إيلاج الفرج في الفرج يدخل فيه اللواط وهو من الفواحش الكبائر

Artinya, “Pemasukan vagina ke vagina, termasuk juga di dalamnya homoseksual pria (liwath) adalah bagian dari perbuatan keji dan dosa besar,” (Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyyin, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz VIII, Halaman 414).

Adapun orientasi seksual, menurut hemat kami, adalah masalah medis yang bisa dikonsultasikan kepada para psikiater, medisin, atau pengobatan alternatif. Masalah orientasi sejenis ini masuk dalam ruang lingkup medis yang memiliki metode sendiri dalam menangani masalah ini.

Kendati demikian, masyarakat tidak boleh mengucilkan mereka secara sosial. Mereka justru membutuhkan dukungan masyarakat dalam mengatasi problem medis yang tengah mereka hadapi.

Demikian jawaban yang bisa kami kemukakan. Semoga jawaban ini dipahami dengan baik. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari perlaku seks sejenis agar rahmat-Nya turun merata kepada kita semua. Kepada pelaku hubungan seksual sejenis, dianjurkan untuk bertobat kepada-Nya. Allah maha penerima tobat hamba-Nya. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb



(Admin)